Total Pageviews

Sunday, May 29, 2011

Kenaikan biaya Direct Cost BPIH Tahun 1432 H / 2011M

Jakarta / 30 Juni . pemerintah bersama DPR RI akan memulai pembicaraan pendahuluan BPIH minggu ini. Ditemui diruangannya Iskan Qolba Lubis(anggota DPR RI komisi VIII Fraksi PKS) menyampaikan telah menerima bahan pembahasan awal BPIH dari pemerintah sejak Jumat kemarin.

Dalam bahan yang diterima, pemerintah mengajukan asumsi untuk meningkatkan harga direct cost BPIH dari USD 3.342 ditahun 2010 menjadi USD 3846.7 dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar 1USD= 9000 (asumsi APBN). Kenaikan ini disampaikan iskan terjadi pada 4 komponen direct cost antara lain :
1. Kurs USD terhadap rupiah dari 9300 ditahun 2010 menjadi 9000 ditahun 2011
2. Tarif penerbangan Indonesia Saudi Arabia PP tahun 2010 rata-rata sebesar USD 1.734 sedangkan tahun 2011 diusulkan oleh pihak penerbangan sebesar USD 2.076
3. Tarif pemondokan di makkah tahun 2010 yang dibebankan kepada jamaah sebesar SAR. 2.850 sedangkan tahun ini diusulkan sebesar SAR 3.400
4. Tarif pemondokan di madinah tahun 2010 yang dibebankan kepada kepada jemaah sebesar SAR 600 sedangkan pada tahun ini diusulkan sebesar SAR. 650

Anggota DPR RI dari daerah pemilihan II sumatera utara ini memberikan apresiasi terhadap tindakan pemerintah dalam mempersiapkan asumsi BPIH tahun 2011 . Kenaikan biaya ini masih akan dipelajari oleh DPR RI dalam pertemuan –pertemuan kedepan. Iskan menambahkan Seperti penawaran pihak penerbangan yang masih dari satu pihak saja belum dapat dijadikan patokan pembiayaan penerbangan .” fraksi PKS dalam hal ini poksi VIII akan mengadakan FGD dengan mengundang maskapai penerbangan lain untuk menerima masukan terhadap kompenen direct coct ini” papar iskan.

Iskan berharap pada tahun ini permasalahan – permasalahan teknis dan operasional dapat diminimalkan, pelayanan terhadap jamaah merupakan hal yang utama. Terakhir dan perlu menjadi evaluasi serta perbaikan kedepan adalah lambatnya hasil pemeriksaan audit BPK terhadap BPIH yang hingga saat ini belum diterima oleh DPR RI , serta rekomendasi dari KPK yang belum dilaksanakan maksimal oleh kementerian agama.

Sunday, May 22, 2011

FGD MUI – POKSI VIII FPKS DPR RI

FGD MUI – POKSI VIII FPKS DPR RI
TEMA: JAMINAN PRODUK HALAL
Ruang Rapim FPKS DPR RI, 19 Mei 2011
PRESENTASI MUI:
Konsep pengelolaan sertifikasi halal di MUI menyatukan antara keahlian saintis (keilmuan) dengan keulamaan (komisi fatwa). Jika lembaga halal tsb nantinya terlepas dari MUI dikhawatirkan tidak ada jaminan keakuratan data yang diberikan oleh lembaga tsb kepada ulama MUI. Bisa saja data yang yang diberikan kepada ulama untuk difatwakan bukanlah data yang sebenarnya.
Dan kekhawatiran lainnya adalah kurangnya integritas keagamaan dari para auditor. Dikhawatirkan auditor akan menerima hal2 yang diluar biaya sertifikasi. Diharapkan ada kestabilan integritas auditor.
Wlpn saat ini ada isu2 yg tdk baik mengenai LPPOM MUI, itu dikarenakan ada pihak ketiga yg bermain dengan pengusaha (menggunakan jasa broker) dan meminta biaya yang sangat tinggi ke pengusaha.
Mengenai sifat UU JPH sebaiknya mandatory namun akan menemui banyak kendala. Yang paling mungkin adalah mandatory labelisasi. Memang banyak yang mengkritik dengan alasan diskriminasi. Padahal Indonesia itu mayoritas muslim. Seharusnya ada keadilan mengenai status makanan halal dan tidak. Di Malaysia saja yg 51% muslim, ada kejelasan restoran halal dan tidak. Negara harus menjamin itu dan tidak membiarkan ketidakjelasan status suatu produk/restoran.
Dalam hal penyelenggaraan jaminan produk halal, ada pembagian peran :
1. Peran MUI, sebagai Lembaga Sertifikasi Halal (LSH) dalam bidang sertifikasi produk halal, yaitu
- Menetapkan standar halal (merumuskan, mengkaji dan mengujcobakan, menerbitkan, mensosialisasikan, dan mengusahakan hak paten). Beberapa standar sudah memeperoleh hak paten.
- Melakukan pemerikasaan proses produksi produk halal
- Menetapkan fatwa halal melalui sidang Komisi Fatwa
- Menerbitkan sertifikat halal
- Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri dan melakukan audit produksi produk halal luar negeri yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUI
2. Peran pemerintah dalam penjaminan produk halal, yaitu:
- Mengatur pencantuman logo/tanda (labelisasi) halal pada kemasan produk halal
- Pengawasan produk
- Melakukan sosialisasi, KIE kepada masyarakat dan pelaku usaha
- Melakukan pembinaan kepada masyarkat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan JPH
- Menyediakan sarpras fisik yang berkaitan dg penyelenggaraan JPH
- Melakukan penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan JPH
- Bekerja sama dg Negara lain berkaitan dg JPH
- Urusan lain yg tidak berkaitan dengan sertifikasi halal
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Konsep swasembada daging harus memperhatikan JPH, karena hulu dari JPH biasanya ada di penjagalan. Pemerintah daerah harus membuat perda2 yang mengatur masalah kehalalan, seperti di Depok, Bogor, dll.
Pengorganisasian
- Kelembagaan produk halal harus dikelola oleh suatu badan/lembaga dipimpin oleh ulama yang memiliki kompetensi dan legitimasi (pengakuan) dari umat Islam yaitu ulama yang direkomendasikan oleh MUI.
- Pembentukan Lembaga/Badan yang bertugas menyelenggarakan produk halal hendaknya merupakan institusi independen di bawah Presiden. Pertimbangan utama, bahwa lembaga/badan akan melibatkan lintas Kementerian dan lembaga.
- Kedudukan Majelis Ulama Indonesia merupakan organ terpisah dari badan/lembaga yang akan dibentuk menurut Undang-Undang ini. Mekanisme demikian sudah diterapkan dalam pengelolaan lembaga keuangan syariah di bawah Bank Indonesia.
- Proses pendaftaran sertifikasi produk halal meliputi 3 tahap:
o Pendaftaran di Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan RI (Badan POM RI) untuk memperoleh surat ijin edar, yaitu kode MD (produk dalam negeri) atau kode ML (produk luar negeri);
o Pendaftaran di MUI, untuk memperoleh sertifikasi halal, melalui tahapan pemeriksaan, penetapan fatwa Komisi Fatwa, dan penerbitan sertifikat halal MUI berdasarkan standar yg telah ditetapkan sebelumnya;
o Pendaftaran di Pemerintah (badan/lembaga yg akan dibentuk) utk mendapatkan nomor regristrasi sertifikat halal, pencantuman logo halal, dan urusan lain yang terkait.
o Pendaftaran pada huruf (a) dan huruf (c) dilakukan pada lembaga Pemerintah yg berpotensi utk memperoleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
o Pendaftaran huruf (b) dilakukan pada Lembaga Sertifikasi Halal dengan pengelolaan keuangan dan model pembiayaan secara mandiri di luar struktur Pemerintah.
- Penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia sbg lembaga yg memiliki kredibilitas dan kepercayaan, bukan oleh lembaga Pemerintah/badan yg akan dibentuk.
- Apabila berdasarkan undang-undang dibuka pendirian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di luar LPH yang didirikan MUI, maka pendirian LPH harus mengikuti berbagai prinsip sebagai berikut:
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal pada merupakan kepanjangan tangan ulama dan saksi tersumpah dari MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal diakreditasi dan disertifikasi oleh MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal bekerja berdasarkan standar penjaminan produk halal yang ditetapkan MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor diangkat, diawasi, dievaluasi, dan bertanggungjawab kepada Majelis Ulama Indonesia
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal hanya bisa didirikan oleh lembaga masyarakat yang memiliki kompetensi bidang pangan, obat-obatan, kosmetika, barang gunaan lain dan kompetensi syar’iyah; dan
o Pemerintah tidak dimungkinkan mendirikan LPH. Langkah ini diambil untuk mencegah kesan LPH Pelat Merah dan LPH Pelat Hitam.
- Pendirian LPH selain oleh MUI selaku LSH, bertentangan dgn prinsip bahwa masalah keagamaan tdk bisa didelegasikan pada lembaga lain, selain lembaga yg telah memiliki otoritas dan kredibilitas dlm bidang keagamaan. Untuk itu, seyogyanya LPH hanya oleh MUI selaku LSH, sedangkan auditor dapat direkomendasikan dari berbagai lembaga/instansi dan masyarakat secara luas.

Model Pembiayaan:
Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN dan swadaya masyarakat, dengan ketentuan sebagai berikut:
o Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN/APBD digunakan utk program/kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut kegiatan:
 Pencantuman logo/tanda halal (labelisasi) pada kemasan produk halal;
 Pengawasan produk yang beredar dan produsen produk halal;
 Melakukan sosialisasi, komunikasi dan penyadaran (dikenal KIE: komunikasi, informasi dan edukasi) kepada masyarakat dan pelaku usaha;
 Melakukan pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan produk halal;
 Penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal;
 Penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal;
 Menyelenggarakan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal;
 Subsidi pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha kecil dan industri rumahan;
 Bantuan penjaminan produk halal kepada LSH dan/atau LPH; serta
 Urusan lain yang berkaitan dengan tugas Pemerintah dalam penjaminan produk halal.
 Penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal;
 Penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal;
 Menyelenggarakan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal;
 Subsidi pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha kecil dan industri rumahan;
 Bantuan penjaminan produk halal kepada LSH dan/atau LPH; serta
 Urusan lain yang berkaitan dengan tugas Pemerintah dalam penjaminan produk halal.
o Pembiayaan penjaminan produk halal swadaya masyarakat digunakan untuk program/kegiatan yang menyangkut kegiatan:
 Operasional LSH dan LPH;
 Penetapan standar halal (merumuskan, mengkaji, mengujicobakan, menerbitkan, mensosialisasikan, pembaruan standar halal dan mengusahakan hak paten)
 Pemeriksaan proses produksi produk halal (memeriksa bahan, peralatan, proses produksi, dan penanganan pasca produksi);
 Penetapan fatwa kehalalan produk, melalui sidang Komisi Fatwa;
 Menerbitkan sertifikat halal, shg sertifikat halal merupakan fatwa tertulis kehalalan suatu produk; dan
 Penyelenggaraan kerjasama dgn lembaga sertifikasi halal luar negeri dan melakukan audit produksi produk halal luar negeri yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUI.

DISKUSI:
1. Rahman Amin:
Terkait masalah sertifikasi ada dua komponen di MUI, yaitu LPPOM dan Komisi Fatwa. Sehingga tidak mungkin memisahkan keduanya. Apakah mungkin jika ada ormas Islam lain yg ingin membuat Lembaga Penyelenggara Halal lain? Dan terkait masalah pembiayaan, untuk sertifikasi, bagaimana akses ke daerah2 (pengusaha daerah)?
Jawaban:
Lukmanul Hakim: beberapa ormas ingin membetuk LPH, sebenarnya sah2 saja. Tapi LPPOM MUI ada dkarenakan untuk mendekatkan jarak/perbedaan2 antara ormas2. Jika semakin banyak ormas JPH, umat akan bingung. Dan dampak negatif lain adalah prilaku perusahaan. Persaingan menjadi tidak sehat. Pengusaha akan mencari LPH yang memudahkan tanpa ada kriteria/syarat yang ketat. Sebaiknya, kalau ormas ingin terlibat masuk saja ke LPPOM MUI shg dpt bersama2 tetapi tetap mengedepankan kompetensi bukan hanya perwakilan dr ormas. Seperti kasus vaksin meningitis, dr NU menghalalkan dalam semalam. Sdngkan LPPOM MUI melakukan pendekatan syariat 9 x.dan melalui proses yg cukup panjang. Tidak hanya sekedar memudah2kan.
Tentang keberadaan LPPOM MUI, untuk pangan, hanya membatasi di tingkat propinsi. Pelaksanaannya sampai pada tingkat kabupaten. Memang belum semua. Dan kendala ini trs akan dtingkatkan. Kendalanya mencari auditor yang kompeten tdklah mudah. Shg ada baiknya jk bekerja sama dengan ormas atau PKS yg dpt mnjangkau sampai ke kecamatan. Penguatan LPPOM dg melibatkan unsur2 lain dimasyarakat sangat penting. Selama ini bekerja sama dg Perguruan Tinggi, tapi kan Perguruan Tinggi adanya di kota2 besar.
KH.Amidhan: penekanan pd vaksin meningitis. Sudah diharamkan MUI tapi tetap dijual. Alasarnnya vaksin tergolong obat, jadi darurat. Dan dari pemerintah sendiri sdh beli 25 M, kok dr MUI blg haram. Dari pemerintah mengatakan akan menjual ke Negara nonmuslim atau mengganti dg komoditi lain. Presiden SBY sebenarnya menyatakan itu adalah resiko pemerintah. Tapi di lapangan berbeda. Akhirnya NU didekati dan dalam 1 malam memutuskan halal. Dan PBNU sebenarnya tdk semuanya setuju. Kl dibiarkan semua ormas dpt mendirikan LPH maka bisa jadi akan ada halal versi MUI, Muhammadiyah, NU, dll. Mengenai pembiayaan, utk mikro dan kecil dibebaskan, dan ada bantuan dr pemda, koperasi, kemerindag, kemenag. Usulan: dalam UU terserah sepertii apa pembiayaannya APBN/APBD yg penting sertifikasi dpt berjalan. Unit usaha Mikro & kecil dibebaskan. Utk perusahaan besar, keuntungan mereka tidak sebanding dg biaya sertifikasi. Tidak seharusnya mereka disubsidi.
Ibu dari LPPOM MUI : utk UKM2 dalam membina LPPOM MUI daerah diambil dr beberapa kabupaten/kota sehingga pengusaha tdk perlu mengeluarkan biaya transportasi. Dan di bbrp kementerian di daerah punya alokasi bantuan dana sertifikasi. Lebih sulit mensertifikasi UKM2 karena lebih sulit menelusuri asal bahan baku spt daging. Tdk jelas dipotong dimana. Kementerian yg bekerja sama: Menteri UKM, perdagangan, perindustrian. Sebagian besar dana bantuan adalah uang sisa dr kementerian2 tsb. Ada info yg mnyatakan sertifikasi mahal, pdhl jk dbandingkan standar yg diberlakukan pemerintah spt SNI, MD, dll jauh lbh mahal pdhl biaya auditor sdh dibiayai oleh Negara.
2. Jazuli Juwaini, MA:
RUU JPH mutlak dibutuhkan krn melindungi muslim sebagai WN Indonesia. Utk pembiayaan, mikro & kecil dibiayai Negara. Pemda jg hrs terlibat. Krn UMKM jmlhnya sgt byk. Urusan fatwa tdk bisa diserahkan kpd yg lain harus kpd ulama. Wlpun ada pihak2 tertentu yg jg menginginkan mengelola sertifikasi. Esensi mandatory harus diperjuangkan krn jk bkn mandatory mk RUU JPH tdk ada artinya. Krn byk yg sdh tdk mementingkan halal. Kedatangan MUI ke FPKS adalah bentuk dukungan thdp RUU JPH.
3. Iskan Qolba
Kerja sama dg kepala daerah2 PKS untuk sosialisasi JPH dari MUI. Masukan untuk draft RUU JPH agar LPH yg akan dibentuk nanti dibawah MUI. Mungkin bentuknya nanti seperti dewan pengawas di Bank. Selain fatwanya yg diharapkan dr ulama, masalah pendapatan juga harus jelas. Dalam konsep kebijakan public, Negara maju nantinya, tidak semua urusan dipegang oleh Negara, masyarakat harus banyak terlibat dalam penyelenggaraan urusan Negara.
4. Farly
Focus permasalahannya, RUU ini berawal dr pemerintah. Kmd dilanjutkan dg masa sidang terbaru dari inisiatif DPR. Pemerintah mklaim bh infrastruktur mrk sdh baik sampai tk daerah, jk dibentuk badan br mk akan terbentur mslah pembentukan infrastruktur/sarpras. Dan bgm dg law inforecement, bgm bentuk yg baik?
5. Efri
Di Malaysia, semacam NGO, sangat intensif mensosialisasikan produk halal. Mrk mdptkan sosialisasi tsb dr perusahaan2 swasta. Krn jika kita menunggu RUU JPH diberlakukan akan lama. Mungkin kita bisa kerja sama dg perusahaan2 swata. Dan sosialisasi produk nonhalal jg penting.
6. Zulfikar:
Apakah MUI siap sekiranya dalam RUU ini mandatory? Bentuk kelembagaan, mana yg lebih efektif, MUI membawahi LPH (bukan LPPOM) atau LPH ada di Subdit PH? Kmd mslh kerja sama LN apakah perlu dimasukkan dlm UU atau bgm?
7. Sholeh:
Terkait dg posisi MUI ketika berkembang pemikiran, MUI diposisikan sbg pemberi fatwa terkait dg dhawabit syariahnya. Jk posisi MUI hanya dibatasi spt itu, mk semua lembaga mau melaksanakan sertifikasi halal tetap patokannya pada MUI.

Jawaban:
KH.Amidhan:
- Penegakan hukum
Di UU JPH kami menyerahkan kepada pemerintah untuk penegakan hukum, di kalangan MUI juga ada penegakan hukum krn dr pemerintah juga kurang jelas. Contoh: ajinomoto label halal dicabut. Kmd ingredientnya diubah dan mrk msh ingin tetap menggunakan merek lama. Tdk masalah. Wlpun dr pemerintah tidak mengharamkan krn mrk melihat hasil akhirnya.
Kmd untuk di Luar Negeri, AFIC dan SIGMA. AFIC mensertifikasi yg halal dan nonhalal (penyembelihan) satu tempat dipisahkan 20 meter dan menjamin tdk tkontaminasi. Ini tdk diterima MUI. Krn melanggar, izinnya dicabut (tdk bs mengekspor ke Indonesa)
- Kelembagaan
Terserah LPH seperti apa, BLU atau pemerintah, yg jelas MUI di sampingnya, independen. Peran MUI tetap seperti selama ini tinggal dimasukkan ke UUnya spt apa. Seperti Bank Indonesia, ada BSN.
- Mandatory
Setuju dg mandatory terutama menyangkut labelisasi. Contoh, BreadTalk ternyata terindikasi bahan tidak halal. Siapa saja yg py kompetensi dapat masuk ke LPPOM MUI
- Sosialisasi
Ttg sosialisasi dpt dibentuk badan tersendiri, spt Malaysia. HDC saat ini tdk lg mengurusi halal tp sosialisai halal. JAKIM yg sertifikasi halal.
- Kerja sama LN
Sdh dr dulu membentuk Lembaga Halal Dunia (WHC). Pusatnya ada di Indonesia, Sekjen yg mengatur halal internasional. Kerja sama LN khusus menyangkut halal, perdagangan urusan pemerintah.

Lukmanul Hakim:
Esensinya sebenarnya adalah bagaimana halal tidak kehilangan makna dan tdk melibatkan terlalu banyak elemen. JPH butuh dukungan Perda shg dpt bekerja sama dengan kepala daerah. Sdh saatnya PKS dan LPPOM MUI berdampingan. Utk infrastruktur sdh sampai tk kecamatan tp untuk pemeriksaannya masih butuh kerja sama dg elemen lain. Utk sosialisasi bth support dr bbgai pihak. Penting jg untuk mensosialisasikan produk halal. LPPOM MUI didirikan awalnya adalah untuk menentramkan umat, shg dr LPPOM MUI tidak patut untuk mengumumkan produk tidak halal. Kecuali ada UUnya. Disinilah urgensi UU JPH. Mandatory labelisasi dan mandatory sertifikasi. Yang dapat dipercepat adalah mandatory labelisasi. Sdgkan mandatory sertifikasi agak lambat.
Konsep Bank Syariah paling ideal untuk JPH (win-win solution). Mungkin dapat dianalisa kelembagaannya utk JPH.

Tuesday, May 17, 2011

Kurikulum Pendidikan agama Islam tidak mengajarkan Radikalisme

Jakarta 18 mei 2011 DPR RI

Beberapa hari ini media terus memuat berita keterkaitan antara NII dan pesantren Az zaytun. Berita yang muncul bahkan mulai mengarah kepada opini bahwa kurikulum pendidikan Islam di indonesia mengajarkan radikalisme.
Untuk mengantisipasi dan menjawab rasa penasaran masyarakat yang khawatir terhadap sistem pendidikan Islam di indonesia maka komisi VIII mengagendakan:
RAPAT KERJA KOMISI VIII DPR RI DENGAN MENTERI AGAMA RI DAN RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME.

Sebelum rapat dimulai beberapa anggota dewan mengajukan interupsi agar rapat ini ditunda karena bahan pembahasan baru diterima anggota pagi sebelum rapat dimulai. hal ini melanggar tatatertib persidangan yang menyebutkan bahwa: bahan persidangan minimal 3 hari sebelum persidangan.

Namun agenda tetap dilaksanakan karena mayoritas anngota memaklumi dan menganggap penting agenda rapat.

Dalam rapat Kementerian Agama menyampaikan hasil temuan penelitian yang dilakukakan tahun 2002 yang hasilnya antara lain;

1. Dari aspek pendidikan, MAZ berobsesi menjadi lembaga pendidikan Islam modern dan “unggul baik pada tataran nasional maupun global”. Orientasi pendidikan MAZ mengacu kepada penyiapan anak didik berfikir kritis, dinamis, kreatif, inovatif, mampu berinteraksi di lingkungannya, dengan dilandasi nilai-nilai etika, moral dan keagamaan. MAZ menerapkan kurikulum yang komprehensif dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama ditambah muatan kepesantrenan, tahfidzul Quran dan penguatan kemampuan bahasa asing. MAZ merupakan salah satu model lembaga pendidikan agama alternatif yang menerapkan School Based Management (SBM), mandiri dalam mengelola sumber dana dan menggalang partisipasi masyarakat. Budaya yang dikembangkan MAZ lebih berorientasi kepada tradisi Melayu yang menandai bergesernya budaya pesantren dan budaya Jawa (Islam sinkretik, petani, domestik/lokal) ke arah budaya Melayu yang lebih puritan, egaliter dan kosmopolit. Dari segi dokumen maupun pelaksanaan kurikulum yang diajarkan di MAZ, tidak ditemukan penyimpangan terhadap standar nasional pendidikan.

2. Dari aspek faham dan aktivitas keagamaan, komunitas MAZ dalam memahami ayat Al-Quran dan Hadits bercorak rasional dan kontekstual. Pendiri MAZ berniat menjadikan MAZ sebagai lembaga pendidikan komprehensif (memadukan pendidikan agama dan umum) sebagai program utamanya. Aktivitas keagamaan komunitas MAZ berjalan relatif aman tidak ada gangguan dan tidak menimbulkan kontroversi pemahaman keagamaan bagi masyarakat sekitar. Dari segi faham dan aktivitas keagamaan yang diajarkan dan dipraktekkan di MAZ, tidak terlihat adanya penyimpangan dari pokok-pokok ajaran Islam.

3. Dari aspek interaksi sosial, secara internal dan eksternal komunitas MAZ bersikap cukup dialogis, akrab, dan penuh semangat kekeluargaan.

Sedangkan untuk mengetahui adanya keterkaitan antara NII dengan MAZ, perlu dilakukan kajian dan penyelidikan oleh pihak yang berwenang, terutama dalam kaitannya dengan aspek historis, finansial, manajemen, dan kepemimpinan, serta aktivitas non kependidikan lainnya.

Dalam rapat yang berlangsung Iskan memnghimbau agar penanganan terhadap benih-benih radikalisme harus dilakukan tanpa menimbulkan kegaduhan , ketakutan ,dan trauma terhadap pengajaran agama islam.

pemerintah harus dapat merespon pemberitaan yang menyudutkan kurikulum pendidikan islam di indonesia, jangan sampai orang tua merasa takut mengirimkan anaknya untuk ke pesantren ,takut untuk mengikuti pengajian-pengajian,jangan sampai negara ini malah menjadi teror bagi masyarakat untuk mempelajari islam .

masalah teroris ini menjadi rumit karena kebijkaan terorisme ini mengekor dengan kebijkaan terorisme negara lain ,jangan sampai negara kita tunduk dan patuh pada perintah asing ,tunjukkan profesionalisme penanganan terorisme. jangan sampai isu radikalisme menjadi barang dagangan .undang-undang sudah cukup untuk menangani permasalahan ini . penegakan hukum dengan mementingkan aspek asasi manusia juga harus dilakukan .

terakhir Iskan menegaskan jangan me-generalisir semua pesantren sama (menanamkan radikalisme pada ajaran pendidikannya) karena hal itu tidak benar .

Sunday, May 8, 2011

Komisi VIII ke Australia Bawa Anak Istri

26 Apr 2011

* Media Indonesia
* Politik

Komisi VIII bahkan tidak menjadwalkan untuk bertemu secara resmi dengan parlemenfederal maupun negara bagian di Australia.

Nurulia Juwita

KOMISI V111 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal-asalan membuat jadwal kunjungan kerja ke Australia pada 26 April-2 Mei mendatang.

Akibatnya, kunjungan Komisi VIII ke Australia lebih menyerupai kunjungan wisata jika dibandingkan dengan maksud dan tujuan awalnya sebagai kunjungan kerja.

Hal itu diungkapkan Persatuan Pelajar Indonesia di Australia dalam surat terbukanya kepada Ketua Komisi VI1IDPR Abdul Kadir Karding, yang dimuat pada situs www. ppi-australia.org. Surat terbuka itu dibuat Mochamad Subhan Zein dan Dirgayuza Setiawan selaku ketua umum dan waki) ketua umum PPI Australia.

Berdasarkan jadwal yang diterima PPI Australia, delegasi Komisi VIII tidak dijadwalkan untuk melihat langsung penanganan warga miskin Australiadi Sydney, Canberra, dan Melbourne. Misalnya kunjungan ke rumah bersama {shnred/public housing), kantor pelayanan Cen-terlink, dan pusat pelayanan komunitas tertinggal. Delegasi Komisi VIII juga tidak dijadwalkan untuk mengadakan diskusi dengan akademisi serta mahasiswa Indonesia di Australia, dengan topik diskusi yang relevan dengan maksud dan tujuan kunjungan kerja.

Bahkan, karena jadwal kunjungan kerja Komisi VIII ke Australia bertepatan dengan masa reses Paskah Parlemen Australia serta Parlemen Negara Bagian New South Wales dan Victoria, tidak ada jadwal pertemuan dengan perumus dan pengambil kebijakan pada tingkat federal dan negara bagian di Australia pada jadvvai tentatif kunjungan kerja itu.

Komisi VIII yang diagendakan akan mengunjungi sekolah Malek Fadh Islamic School dan Federation of Islamic Councils juga dinilai ndak terkait dengankerjanya dalam pembahasan RUU Penanganan Fakir Miskin. Lebih parah lagi, berdasarkan informasi yang didapatkan PPI dari Senayan, delegasi Komisi VIII itu juga membawa anak dan istri, dan menghabiskan uang negara Rp811,8 juta.

Pada surat terbuka itu, PPI Australia mengusulkan agar rombongan Komisi VIII DPR mengunjungi daerah khusus Northern Territory untuk melihat secara langsung langkah pemerintah Australia dalam memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan keamanan untuk 15 komunitas paling miskin dan termar-ginalkan di Australia. Termasuk mengunjungi kantor-kantor pelayanan Centerlink, shared community housing, dan inisiatif lain pemerintah Australia untuk warga miskin di Sydney dan Melbourne untuk melihat sendiri bagaimana pelayanan untuk unlucky Australians dilakukan di kota-kota besar.

Komisi VIII juga disarankanmengadakan diskusi dengan Australian permanent rcsidency yang menerima bantuan secara reguler dari Centerlink/ pemerintah Australia untuk melanjutkan hidup karena pemutusan hubungan kerja, cacat fisik, dan alasan lainnya.

Tidak optimal

Anggota Komisi VIII dari Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis tidak memungkiri bahwa saat ini masih ada anggota dewan yang mengajak anggota keluarganya saat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.

"Memang sebetulnya jangan ikut. Tidak merugikan negara karena bayar sendiri. Tetapi ini membuat kerja tidak optimal," ujarnya. Iskan sendiri tidak ikut ke Australia.

Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro tidak bersedia memberikan penjelasan. "Jangan ditanyakan ke saya." (*/P-5)nurulia@mediaindonesia.com