FGD MUI – POKSI VIII FPKS DPR RI
TEMA: JAMINAN PRODUK HALAL
Ruang Rapim FPKS DPR RI, 19 Mei 2011
PRESENTASI MUI:
Konsep pengelolaan sertifikasi halal di MUI menyatukan antara keahlian saintis (keilmuan) dengan keulamaan (komisi fatwa). Jika lembaga halal tsb nantinya terlepas dari MUI dikhawatirkan tidak ada jaminan keakuratan data yang diberikan oleh lembaga tsb kepada ulama MUI. Bisa saja data yang yang diberikan kepada ulama untuk difatwakan bukanlah data yang sebenarnya.
Dan kekhawatiran lainnya adalah kurangnya integritas keagamaan dari para auditor. Dikhawatirkan auditor akan menerima hal2 yang diluar biaya sertifikasi. Diharapkan ada kestabilan integritas auditor.
Wlpn saat ini ada isu2 yg tdk baik mengenai LPPOM MUI, itu dikarenakan ada pihak ketiga yg bermain dengan pengusaha (menggunakan jasa broker) dan meminta biaya yang sangat tinggi ke pengusaha.
Mengenai sifat UU JPH sebaiknya mandatory namun akan menemui banyak kendala. Yang paling mungkin adalah mandatory labelisasi. Memang banyak yang mengkritik dengan alasan diskriminasi. Padahal Indonesia itu mayoritas muslim. Seharusnya ada keadilan mengenai status makanan halal dan tidak. Di Malaysia saja yg 51% muslim, ada kejelasan restoran halal dan tidak. Negara harus menjamin itu dan tidak membiarkan ketidakjelasan status suatu produk/restoran.
Dalam hal penyelenggaraan jaminan produk halal, ada pembagian peran :
1. Peran MUI, sebagai Lembaga Sertifikasi Halal (LSH) dalam bidang sertifikasi produk halal, yaitu
- Menetapkan standar halal (merumuskan, mengkaji dan mengujcobakan, menerbitkan, mensosialisasikan, dan mengusahakan hak paten). Beberapa standar sudah memeperoleh hak paten.
- Melakukan pemerikasaan proses produksi produk halal
- Menetapkan fatwa halal melalui sidang Komisi Fatwa
- Menerbitkan sertifikat halal
- Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri dan melakukan audit produksi produk halal luar negeri yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUI
2. Peran pemerintah dalam penjaminan produk halal, yaitu:
- Mengatur pencantuman logo/tanda (labelisasi) halal pada kemasan produk halal
- Pengawasan produk
- Melakukan sosialisasi, KIE kepada masyarakat dan pelaku usaha
- Melakukan pembinaan kepada masyarkat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan JPH
- Menyediakan sarpras fisik yang berkaitan dg penyelenggaraan JPH
- Melakukan penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan JPH
- Bekerja sama dg Negara lain berkaitan dg JPH
- Urusan lain yg tidak berkaitan dengan sertifikasi halal
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Konsep swasembada daging harus memperhatikan JPH, karena hulu dari JPH biasanya ada di penjagalan. Pemerintah daerah harus membuat perda2 yang mengatur masalah kehalalan, seperti di Depok, Bogor, dll.
Pengorganisasian
- Kelembagaan produk halal harus dikelola oleh suatu badan/lembaga dipimpin oleh ulama yang memiliki kompetensi dan legitimasi (pengakuan) dari umat Islam yaitu ulama yang direkomendasikan oleh MUI.
- Pembentukan Lembaga/Badan yang bertugas menyelenggarakan produk halal hendaknya merupakan institusi independen di bawah Presiden. Pertimbangan utama, bahwa lembaga/badan akan melibatkan lintas Kementerian dan lembaga.
- Kedudukan Majelis Ulama Indonesia merupakan organ terpisah dari badan/lembaga yang akan dibentuk menurut Undang-Undang ini. Mekanisme demikian sudah diterapkan dalam pengelolaan lembaga keuangan syariah di bawah Bank Indonesia.
- Proses pendaftaran sertifikasi produk halal meliputi 3 tahap:
o Pendaftaran di Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan RI (Badan POM RI) untuk memperoleh surat ijin edar, yaitu kode MD (produk dalam negeri) atau kode ML (produk luar negeri);
o Pendaftaran di MUI, untuk memperoleh sertifikasi halal, melalui tahapan pemeriksaan, penetapan fatwa Komisi Fatwa, dan penerbitan sertifikat halal MUI berdasarkan standar yg telah ditetapkan sebelumnya;
o Pendaftaran di Pemerintah (badan/lembaga yg akan dibentuk) utk mendapatkan nomor regristrasi sertifikat halal, pencantuman logo halal, dan urusan lain yang terkait.
o Pendaftaran pada huruf (a) dan huruf (c) dilakukan pada lembaga Pemerintah yg berpotensi utk memperoleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
o Pendaftaran huruf (b) dilakukan pada Lembaga Sertifikasi Halal dengan pengelolaan keuangan dan model pembiayaan secara mandiri di luar struktur Pemerintah.
- Penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia sbg lembaga yg memiliki kredibilitas dan kepercayaan, bukan oleh lembaga Pemerintah/badan yg akan dibentuk.
- Apabila berdasarkan undang-undang dibuka pendirian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di luar LPH yang didirikan MUI, maka pendirian LPH harus mengikuti berbagai prinsip sebagai berikut:
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal pada merupakan kepanjangan tangan ulama dan saksi tersumpah dari MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal diakreditasi dan disertifikasi oleh MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal bekerja berdasarkan standar penjaminan produk halal yang ditetapkan MUI;
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor diangkat, diawasi, dievaluasi, dan bertanggungjawab kepada Majelis Ulama Indonesia
o Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor halal hanya bisa didirikan oleh lembaga masyarakat yang memiliki kompetensi bidang pangan, obat-obatan, kosmetika, barang gunaan lain dan kompetensi syar’iyah; dan
o Pemerintah tidak dimungkinkan mendirikan LPH. Langkah ini diambil untuk mencegah kesan LPH Pelat Merah dan LPH Pelat Hitam.
- Pendirian LPH selain oleh MUI selaku LSH, bertentangan dgn prinsip bahwa masalah keagamaan tdk bisa didelegasikan pada lembaga lain, selain lembaga yg telah memiliki otoritas dan kredibilitas dlm bidang keagamaan. Untuk itu, seyogyanya LPH hanya oleh MUI selaku LSH, sedangkan auditor dapat direkomendasikan dari berbagai lembaga/instansi dan masyarakat secara luas.
Model Pembiayaan:
Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN dan swadaya masyarakat, dengan ketentuan sebagai berikut:
o Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN/APBD digunakan utk program/kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut kegiatan:
Pencantuman logo/tanda halal (labelisasi) pada kemasan produk halal;
Pengawasan produk yang beredar dan produsen produk halal;
Melakukan sosialisasi, komunikasi dan penyadaran (dikenal KIE: komunikasi, informasi dan edukasi) kepada masyarakat dan pelaku usaha;
Melakukan pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan produk halal;
Penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal;
Penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal;
Menyelenggarakan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal;
Subsidi pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha kecil dan industri rumahan;
Bantuan penjaminan produk halal kepada LSH dan/atau LPH; serta
Urusan lain yang berkaitan dengan tugas Pemerintah dalam penjaminan produk halal.
Penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal;
Penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal;
Menyelenggarakan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal;
Subsidi pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha kecil dan industri rumahan;
Bantuan penjaminan produk halal kepada LSH dan/atau LPH; serta
Urusan lain yang berkaitan dengan tugas Pemerintah dalam penjaminan produk halal.
o Pembiayaan penjaminan produk halal swadaya masyarakat digunakan untuk program/kegiatan yang menyangkut kegiatan:
Operasional LSH dan LPH;
Penetapan standar halal (merumuskan, mengkaji, mengujicobakan, menerbitkan, mensosialisasikan, pembaruan standar halal dan mengusahakan hak paten)
Pemeriksaan proses produksi produk halal (memeriksa bahan, peralatan, proses produksi, dan penanganan pasca produksi);
Penetapan fatwa kehalalan produk, melalui sidang Komisi Fatwa;
Menerbitkan sertifikat halal, shg sertifikat halal merupakan fatwa tertulis kehalalan suatu produk; dan
Penyelenggaraan kerjasama dgn lembaga sertifikasi halal luar negeri dan melakukan audit produksi produk halal luar negeri yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUI.
DISKUSI:
1. Rahman Amin:
Terkait masalah sertifikasi ada dua komponen di MUI, yaitu LPPOM dan Komisi Fatwa. Sehingga tidak mungkin memisahkan keduanya. Apakah mungkin jika ada ormas Islam lain yg ingin membuat Lembaga Penyelenggara Halal lain? Dan terkait masalah pembiayaan, untuk sertifikasi, bagaimana akses ke daerah2 (pengusaha daerah)?
Jawaban:
Lukmanul Hakim: beberapa ormas ingin membetuk LPH, sebenarnya sah2 saja. Tapi LPPOM MUI ada dkarenakan untuk mendekatkan jarak/perbedaan2 antara ormas2. Jika semakin banyak ormas JPH, umat akan bingung. Dan dampak negatif lain adalah prilaku perusahaan. Persaingan menjadi tidak sehat. Pengusaha akan mencari LPH yang memudahkan tanpa ada kriteria/syarat yang ketat. Sebaiknya, kalau ormas ingin terlibat masuk saja ke LPPOM MUI shg dpt bersama2 tetapi tetap mengedepankan kompetensi bukan hanya perwakilan dr ormas. Seperti kasus vaksin meningitis, dr NU menghalalkan dalam semalam. Sdngkan LPPOM MUI melakukan pendekatan syariat 9 x.dan melalui proses yg cukup panjang. Tidak hanya sekedar memudah2kan.
Tentang keberadaan LPPOM MUI, untuk pangan, hanya membatasi di tingkat propinsi. Pelaksanaannya sampai pada tingkat kabupaten. Memang belum semua. Dan kendala ini trs akan dtingkatkan. Kendalanya mencari auditor yang kompeten tdklah mudah. Shg ada baiknya jk bekerja sama dengan ormas atau PKS yg dpt mnjangkau sampai ke kecamatan. Penguatan LPPOM dg melibatkan unsur2 lain dimasyarakat sangat penting. Selama ini bekerja sama dg Perguruan Tinggi, tapi kan Perguruan Tinggi adanya di kota2 besar.
KH.Amidhan: penekanan pd vaksin meningitis. Sudah diharamkan MUI tapi tetap dijual. Alasarnnya vaksin tergolong obat, jadi darurat. Dan dari pemerintah sendiri sdh beli 25 M, kok dr MUI blg haram. Dari pemerintah mengatakan akan menjual ke Negara nonmuslim atau mengganti dg komoditi lain. Presiden SBY sebenarnya menyatakan itu adalah resiko pemerintah. Tapi di lapangan berbeda. Akhirnya NU didekati dan dalam 1 malam memutuskan halal. Dan PBNU sebenarnya tdk semuanya setuju. Kl dibiarkan semua ormas dpt mendirikan LPH maka bisa jadi akan ada halal versi MUI, Muhammadiyah, NU, dll. Mengenai pembiayaan, utk mikro dan kecil dibebaskan, dan ada bantuan dr pemda, koperasi, kemerindag, kemenag. Usulan: dalam UU terserah sepertii apa pembiayaannya APBN/APBD yg penting sertifikasi dpt berjalan. Unit usaha Mikro & kecil dibebaskan. Utk perusahaan besar, keuntungan mereka tidak sebanding dg biaya sertifikasi. Tidak seharusnya mereka disubsidi.
Ibu dari LPPOM MUI : utk UKM2 dalam membina LPPOM MUI daerah diambil dr beberapa kabupaten/kota sehingga pengusaha tdk perlu mengeluarkan biaya transportasi. Dan di bbrp kementerian di daerah punya alokasi bantuan dana sertifikasi. Lebih sulit mensertifikasi UKM2 karena lebih sulit menelusuri asal bahan baku spt daging. Tdk jelas dipotong dimana. Kementerian yg bekerja sama: Menteri UKM, perdagangan, perindustrian. Sebagian besar dana bantuan adalah uang sisa dr kementerian2 tsb. Ada info yg mnyatakan sertifikasi mahal, pdhl jk dbandingkan standar yg diberlakukan pemerintah spt SNI, MD, dll jauh lbh mahal pdhl biaya auditor sdh dibiayai oleh Negara.
2. Jazuli Juwaini, MA:
RUU JPH mutlak dibutuhkan krn melindungi muslim sebagai WN Indonesia. Utk pembiayaan, mikro & kecil dibiayai Negara. Pemda jg hrs terlibat. Krn UMKM jmlhnya sgt byk. Urusan fatwa tdk bisa diserahkan kpd yg lain harus kpd ulama. Wlpun ada pihak2 tertentu yg jg menginginkan mengelola sertifikasi. Esensi mandatory harus diperjuangkan krn jk bkn mandatory mk RUU JPH tdk ada artinya. Krn byk yg sdh tdk mementingkan halal. Kedatangan MUI ke FPKS adalah bentuk dukungan thdp RUU JPH.
3. Iskan Qolba
Kerja sama dg kepala daerah2 PKS untuk sosialisasi JPH dari MUI. Masukan untuk draft RUU JPH agar LPH yg akan dibentuk nanti dibawah MUI. Mungkin bentuknya nanti seperti dewan pengawas di Bank. Selain fatwanya yg diharapkan dr ulama, masalah pendapatan juga harus jelas. Dalam konsep kebijakan public, Negara maju nantinya, tidak semua urusan dipegang oleh Negara, masyarakat harus banyak terlibat dalam penyelenggaraan urusan Negara.
4. Farly
Focus permasalahannya, RUU ini berawal dr pemerintah. Kmd dilanjutkan dg masa sidang terbaru dari inisiatif DPR. Pemerintah mklaim bh infrastruktur mrk sdh baik sampai tk daerah, jk dibentuk badan br mk akan terbentur mslah pembentukan infrastruktur/sarpras. Dan bgm dg law inforecement, bgm bentuk yg baik?
5. Efri
Di Malaysia, semacam NGO, sangat intensif mensosialisasikan produk halal. Mrk mdptkan sosialisasi tsb dr perusahaan2 swasta. Krn jika kita menunggu RUU JPH diberlakukan akan lama. Mungkin kita bisa kerja sama dg perusahaan2 swata. Dan sosialisasi produk nonhalal jg penting.
6. Zulfikar:
Apakah MUI siap sekiranya dalam RUU ini mandatory? Bentuk kelembagaan, mana yg lebih efektif, MUI membawahi LPH (bukan LPPOM) atau LPH ada di Subdit PH? Kmd mslh kerja sama LN apakah perlu dimasukkan dlm UU atau bgm?
7. Sholeh:
Terkait dg posisi MUI ketika berkembang pemikiran, MUI diposisikan sbg pemberi fatwa terkait dg dhawabit syariahnya. Jk posisi MUI hanya dibatasi spt itu, mk semua lembaga mau melaksanakan sertifikasi halal tetap patokannya pada MUI.
Jawaban:
KH.Amidhan:
- Penegakan hukum
Di UU JPH kami menyerahkan kepada pemerintah untuk penegakan hukum, di kalangan MUI juga ada penegakan hukum krn dr pemerintah juga kurang jelas. Contoh: ajinomoto label halal dicabut. Kmd ingredientnya diubah dan mrk msh ingin tetap menggunakan merek lama. Tdk masalah. Wlpun dr pemerintah tidak mengharamkan krn mrk melihat hasil akhirnya.
Kmd untuk di Luar Negeri, AFIC dan SIGMA. AFIC mensertifikasi yg halal dan nonhalal (penyembelihan) satu tempat dipisahkan 20 meter dan menjamin tdk tkontaminasi. Ini tdk diterima MUI. Krn melanggar, izinnya dicabut (tdk bs mengekspor ke Indonesa)
- Kelembagaan
Terserah LPH seperti apa, BLU atau pemerintah, yg jelas MUI di sampingnya, independen. Peran MUI tetap seperti selama ini tinggal dimasukkan ke UUnya spt apa. Seperti Bank Indonesia, ada BSN.
- Mandatory
Setuju dg mandatory terutama menyangkut labelisasi. Contoh, BreadTalk ternyata terindikasi bahan tidak halal. Siapa saja yg py kompetensi dapat masuk ke LPPOM MUI
- Sosialisasi
Ttg sosialisasi dpt dibentuk badan tersendiri, spt Malaysia. HDC saat ini tdk lg mengurusi halal tp sosialisai halal. JAKIM yg sertifikasi halal.
- Kerja sama LN
Sdh dr dulu membentuk Lembaga Halal Dunia (WHC). Pusatnya ada di Indonesia, Sekjen yg mengatur halal internasional. Kerja sama LN khusus menyangkut halal, perdagangan urusan pemerintah.
Lukmanul Hakim:
Esensinya sebenarnya adalah bagaimana halal tidak kehilangan makna dan tdk melibatkan terlalu banyak elemen. JPH butuh dukungan Perda shg dpt bekerja sama dengan kepala daerah. Sdh saatnya PKS dan LPPOM MUI berdampingan. Utk infrastruktur sdh sampai tk kecamatan tp untuk pemeriksaannya masih butuh kerja sama dg elemen lain. Utk sosialisasi bth support dr bbgai pihak. Penting jg untuk mensosialisasikan produk halal. LPPOM MUI didirikan awalnya adalah untuk menentramkan umat, shg dr LPPOM MUI tidak patut untuk mengumumkan produk tidak halal. Kecuali ada UUnya. Disinilah urgensi UU JPH. Mandatory labelisasi dan mandatory sertifikasi. Yang dapat dipercepat adalah mandatory labelisasi. Sdgkan mandatory sertifikasi agak lambat.
Konsep Bank Syariah paling ideal untuk JPH (win-win solution). Mungkin dapat dianalisa kelembagaannya utk JPH.
No comments:
Post a Comment